Kata-Kata Bisa Jadi Luka: Tentang Verbal Abuse yang Tak Terlihat
Beberapa
bulan lalu, dalam sebuah percakapan hangat, seorang narasumber perempuan yang
memilih untuk tidak disebutkan namanya membuka diri padaku. Dengan suara lirih,
ia bercerita tentang bagaimana verbal abuse
kekerasan yang terjadi lewat kata-kata membentuk cara pandangnya terhadap
hidup, bahkan hingga ia dewasa. Cerita itu menyentuh dan menggelitik hati saya,
karena ternyata luka yang dia alami tidak terlihat, namun dampaknya begitu
dalam. Ia tidak sendirian. Dan saya tahu, banyak perempuan di luar sana yang
juga menyimpan luka serupa. Tidak semua luka terlihat. Tidak semua kekerasan
meninggalkan memar. Kadang, luka paling dalam justru datang dari kata-kata yang
terus membekas meski sudah bertahun-tahun berlalu. Kalimat seperti “Kamu
bodoh,” “Kamu bikin malu,” atau “Kamu nggak akan pernah bisa apa-apa,” mungkin
terdengar biasa bagi sebagian orang. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk
didikan keras, bahkan tidak sedikit yang membela dengan alasan “itu demi
kebaikan.” Namun, bagi seorang anak, kata-kata seperti itu adalah cambuk tanpa
suara, racun yang perlahan merusak rasa percaya diri, dan jerat tak terlihat
yang membentuk cara pandangnya terhadap diri sendiri dan dunia.
Anak-anak tidak memiliki tameng seperti orang dewasa. Mereka menyerap segala hal layaknya spons termasuk kata-kata yang menyakitkan. Ketika kekerasan verbal menjadi makanan sehari-hari, anak tidak tumbuh dengan cinta, tapi dengan rasa takut, rasa bersalah, dan luka batin yang tidak tahu harus dibawa ke mana. Yang lebih menyedihkan, sebagian dari kita bahkan tumbuh besar tanpa sadar bahwa kita sedang terluka. Kita belajar memaafkan, tapi sering tanpa sempat memahami. Kita diajarkan untuk tidak membantah orang tua, tapi tidak pernah diajarkan cara mencintai diri sendiri ketika cinta dari rumah terasa menyakitkan. Lewat tulisan ini, aku ingin mengajakmu melihat luka yang sering diabaikan: luka dari kata-kata. Bukan untuk membuka aib, tapi untuk membuka ruang. Karena ketika kita berani bicara, kita sedang memulai proses penyembuhan. Dan di Cantik Bicara, perempuan berhak bicara apa adanya termasuk tentang luka yang tak kasat mata.
Verbal abuse atau kekerasan verbal adalah
bentuk kekerasan yang sering diabaikan karena tidak meninggalkan luka fisik.
Padahal, luka dari kata-kata bisa jauh lebih dalam dan menetap. Bentuknya bisa
berupa hinaan, cemoohan, bentakan, sindiran tajam, hingga membandingkan anak
secara menyakitkan. Kata-kata seperti "Kamu gak berguna",
"Kenapa gak bisa kayak Adikmu?", atau "Dasar anak gak bisa
diatur" bisa tertanam kuat dalam pikiran anak, menjadi label negatif yang
terus mereka bawa hingga dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Norman et al. (2012) dalam Journal
of Child Abuse & Neglect menemukan bahwa kekerasan verbal dapat menimbulkan dampak psikologis yang
sama seriusnya dengan kekerasan fisik, termasuk risiko tinggi
terhadap depresi, kecemasan, dan gangguan kepribadian. Studi tersebut juga
menunjukkan bahwa anak yang mengalami verbal abuse cenderung memiliki
self-esteem yang rendah dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat. Lebih
lanjut, menurut Dr. Elizabeth Gershoff,
psikolog dari University of Texas yang telah banyak meneliti dampak kekerasan
terhadap anak, teriakan dan penghinaan yang dilakukan
berulang kali oleh orang tua dapat merusak struktur psikologis anak dan
berdampak pada perkembangan otak, terutama bagian yang mengatur emosi dan
pengambilan keputusan. Artinya, kekerasan verbal bukan hanya
menyakitkan secara emosional, tetapi juga bisa memengaruhi aspek kognitif dan
perilaku anak dalam jangka panjang.
Hal
senada disampaikan oleh Dr. Nadine Burke
Harris, seorang dokter anak dan peneliti trauma masa kecil,
dalam bukunya The
Deepest Well. Ia menjelaskan bahwa pengalaman
masa kecil yang penuh tekanan, termasuk kekerasan verbal, dapat meningkatkan
kadar hormon stres anak secara kronis, yang pada akhirnya
memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka hingga dewasa. Anak-anak yang
tumbuh dalam lingkungan penuh cacian dan hinaan lebih rentan mengalami tekanan
darah tinggi, penyakit jantung, bahkan gangguan imunitas tubuh. Dari sisi
pertumbuhan psikososial, Erik Erikson,
seorang tokoh teori perkembangan psikososial, menyebutkan bahwa masa
kanak-kanak adalah fase penting pembentukan identitas dan kepercayaan diri.
Ketika pada masa ini anak terus-menerus menerima pesan negatif melalui
kata-kata, mereka bisa gagal membentuk rasa percaya diri yang sehat,
dan justru berkembang menjadi pribadi yang penuh keraguan, mudah cemas, dan
takut mengambil keputusan. Sayangnya, di banyak budaya termasuk di Indonesia, verbal abuse sering disamarkan sebagai “cara mendidik” atau
“didikan keras demi masa depan anak.” Padahal, niat baik tidak
pernah membenarkan cara yang melukai. Kata-kata orang tua adalah cermin pertama
yang digunakan anak untuk melihat dirinya sendiri. Jika yang ia dengar
terus-menerus adalah hinaan, maka ia akan tumbuh memandang dirinya sebagai sosok
yang buruk, tidak layak, dan tidak mampu.
Kita mungkin dibesarkan dalam budaya yang menganggap bahwa kata-kata keras adalah bagian dari pendidikan. Bahwa anak harus “ditempa” dengan bentakan agar menjadi kuat. Namun kini kita tahu, dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata, bahwa kata-kata yang menyakitkan bisa membekas lebih lama dari luka fisik. Verbal abuse bukan soal “anak manja yang tak tahan dikritik”, melainkan bentuk kekerasan emosional yang nyata dan berbahaya. Kata-kata orang tua adalah fondasi batin seorang anak. Jika fondasi itu dipenuhi hinaan, cacian, atau kata-kata negatif lainnya, anak akan tumbuh dengan pandangan yang rapuh terhadap dirinya sendiri. Dan luka itu tidak menghilang hanya karena usia bertambah. Ia bisa terbawa sampai dewasa, menyelinap ke dalam cara kita mencintai orang lain dan mencintai diri sendiri. Namun kabar baiknya, kesadaran adalah langkah awal penyembuhan. Ketika kita mulai menyadari bahwa luka itu ada, ketika kita berani memberi nama pada rasa sakit, saat itulah kita sedang menyelamatkan versi kecil dari diri kita yang dulu dibungkam. Dan saat kita berbicara, kita bukan hanya menyembuhkan, tetapi juga memberi ruang bagi orang lain untuk ikut bersuara. Pernahkah kamu mengalami kata-kata yang melukai dari orang terdekat? Atau mungkin kamu sedang dalam proses menyembuhkan luka itu perlahan-lahan? Aku mengundang kamu untuk berbagi bisa lewat komentar, email pribadi, atau bahkan lewat tulisanmu sendiri. Di Cantik Bicara, tak ada yang terlalu sepele untuk diceritakan, dan tak ada rasa yang salah untuk dirasakan. Suaramu penting. Ceritamu berharga. Karena kita semua layak disayangi, dimengerti, dan didengarkan tanpa syarat. 🌷
Your writing on verbal abuse is deeply moving and impactful. You’ve managed to capture the silent pain that words can cause with such clarity and emotion. It’s a beautifully crafted piece that not only raises awareness but also invites readers to reflect on how powerful and sometimes harmful language can be. A truly meaningful contribution.
ReplyDelete