Fenomena Childfree: Antara Pilihan Bebas atau Tekanan Sosial?

 


    Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan mengenai pilihan hidup childfree semakin menjadi sorotan, baik di ruang publik maupun media sosial. Istilah "childfree" merujuk pada keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, bukan karena masalah biologis, tetapi karena pertimbangan pribadi, sosial, atau bahkan ideologis. Di tengah masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga konvensional, fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah keputusan childfree merupakan bentuk pilihan bebas atau justru merupakan dampak dari tekanan sosial yang kompleks?

    Menurut Merriam-Webster Dictionary, “childfree” adalah kondisi memilih untuk tidak memiliki anak secara sukarela. Berbeda dengan “childless” yang biasanya berarti tidak memiliki anak karena alasan medis atau infertilitas, childfree bersifat pilihan sadar. Fenomena ini bukan hal baru di dunia Barat, tetapi dalam konteks negara-negara Asia seperti Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan, keputusan untuk tidak memiliki anak mulai menuai perhatian dan perdebatan sengit. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2021), sekitar 44% pasangan muda di Amerika Serikat menyatakan tidak berencana memiliki anak, dengan alasan utama berkaitan dengan kekhawatiran ekonomi, krisis iklim, dan kualitas hidup.

    Di Indonesia, isu ini mulai mencuat setelah beberapa figur publik secara terbuka menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan childfree. Selebriti seperti Gita Savitri Devi menjadi sorotan karena menyampaikan alasan intelektual dan eksistensial dalam memilih childfree, yang memicu berbagai reaksi dari masyarakat dari dukungan hingga kecaman. Bagi sebagian orang, childfree adalah bentuk kebebasan personal dan kontrol atas tubuh serta masa depan. Dalam perspektif psikologi, Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan menyebutkan bahwa setiap individu berusaha memenuhi aktualisasi diri, yang dalam beberapa kasus bisa berarti mengejar karier, pendidikan, atau pengalaman hidup yang tidak selalu melibatkan peran sebagai orang tua. Dr. Meg Jay, seorang psikolog klinis dan penulis buku The Defining Decade, menjelaskan bahwa generasi milenial dan Gen Z semakin menghargai individualitas dan kualitas hidup yang fleksibel. "Banyak dari mereka yang menunda pernikahan dan memiliki anak karena ingin membangun fondasi diri yang kokoh terlebih dahulu," ujar Jay dalam wawancara dengan Time Magazine (2022).

    Dari sudut pandang feminis, gerakan childfree juga dilihat sebagai perlawanan terhadap norma patriarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai alat reproduksi. Simone de Beauvoir, dalam karyanya The Second Sex (1949), menekankan pentingnya perempuan dalam menentukan jalan hidup mereka sendiri, tanpa tekanan dari konstruksi sosial yang sempit. Namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang mempertanyakan apakah keputusan childfree benar-benar datang dari otonomi individu, atau justru hasil dari tekanan sosial yang tak kasat mata. Dalam dunia yang semakin kompetitif dan mahal, banyak pasangan merasa tidak sanggup menghadapi beban finansial dan emosional dalam membesarkan anak.

    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa biaya membesarkan anak di kota besar seperti Jakarta bisa mencapai lebih dari Rp2 miliar hingga usia 21 tahun. Belum lagi tekanan karier, tingginya harga properti, dan semakin minimnya ruang terbuka untuk anak-anak tumbuh. Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Ida Ruwaida, menyoroti bahwa childfree di Indonesia masih sangat sensitif karena bertentangan dengan nilai budaya kolektif dan ekspektasi sosial. "Banyak perempuan yang akhirnya memilih childfree karena trauma masa kecil, pengalaman pengasuhan yang buruk, atau tekanan karier yang tinggi, bukan semata-mata karena tidak ingin menjadi ibu," ujarnya dalam seminar daring pada 2024. Lebih lanjut, adanya stigma sosial bagi perempuan childfree juga memperumit pilihan ini. Mereka kerap dicap egois, tidak dewasa, atau bahkan tidak 'lengkap' sebagai perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa childfree tidak selalu menjadi pilihan yang bebas dari intervensi norma masyarakat.

    Fenomena childfree memang tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Di satu sisi, ia mencerminkan bentuk otonomi dan kebebasan individu dalam menentukan hidup. Di sisi lain, keputusan ini bisa juga lahir dari tekanan sosial dan ekonomi yang kian pelik. Yang pasti, baik memilih untuk memiliki anak atau tidak, keduanya adalah keputusan pribadi yang seharusnya dihormati dan tidak dihakimi. Masyarakat perlu membangun ruang dialog yang sehat agar perbedaan pilihan hidup ini tidak melahirkan polarisasi, tetapi justru memperkaya perspektif tentang apa arti menjadi manusia yang merdeka dalam menjalani hidupnya. Lalu, bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda melihat keputusan childfree sebagai wujud kebebasan, atau justru refleksi dari kondisi sosial yang menekan? Mari kita renungkan bersama tanpa menghakimi, tanpa memaksakan. Karena pada akhirnya, setiap hidup punya ceritanya sendiri.

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Laporan Study Banding^^

Perbedaan Finish dengan done

PEREMPUAN ITU HARUS PUNYA 4B, APA ITU 4B?